Berangkat Menuju Hildoryn

Posted by Teteh Fia Sabtu, 29 Agustus 2015 0 komentar
          Hamburg.
  Pagi hari di Desa Margatha, Langit mulai cerah. Matahari terbit dari ufuk timur. Lampu jalanan mulai redup, dan Orang - orang mulai beraktivitas kembali. Pemandangan pagi indah, dihiasi burung bangau yang terbang berkelompok. Burung - burung kecil yang lain asyik terbang bebas, mengelilingi lapangan rumput hijau, dan sebagiannya bertengger di atas tali jemuran milik keluarga
            "KRIING! KRIING!" suara nyaring yang berasal dari jam weker seorang gadis usia sepuluh tahun. Elizabeth Hamburg, seorang gadis berambut pirang, anak dari Mr. dan Mrs. Hamburg. Deringan itu berhenti saat Eliz menekan sebuah tombol di bagian atas jam. Eliz bangun sambil menguap. Rambut pirang lurusnya berantakan, dan matanya seperti tak kuat lagi untuk menahan ngantuknya. Ia kemudian mengguncang - guncang tubuh adiknya yang masih berbaring di sebelah kirinya.
            "Clara! Clara! Ayo bangun! Ini sudah jam enam!" serunya, masih terus mengguncang - guncang adiknya.
            "Eh, Uh!" gumam Clara sambil bangkit. "Sudah jam enam?" Ia kemudian mengucek matanya. Eliz mengangguk. Kemudian Ia turun dari ranjangnya, dan segera menarik adiknya untuk segera turun.
            "Ayo kita bereskan dulu kamar kita." kata Eliz, seraya menarik selimut dan melipatnya. Clara menumpuk bantal-bantal yang berserakan dimana-mana, dan menyusunnya di salah satu sudut ruangan.
            "Kenapa terlalu terburu-buru?" tanya Clara.
            "Kau sudah lupa?" kata Eliz yang kemudian menaruh lipatan selimut di atas tumpukan bantal yang ditaruh Clara tadi. "Ini adalah hari pertama liburan sekolah. George dan Lily libur sekolah, dan mereka akan mengajak kita pergi ke luar kota." Dengan cepat, Eliz merapikan seprai kasur berwarna jingga. George Hamburg, adalah kakak mereka. Usianya 16 belas tahun, sementara Lily Hamburg kakak kedua mereka. Usianya 14 tahun.
            "Sekarang jangan banyak tanya lagi!" perotes Eliz. "Ayo segera bantu aku membereskan meja ini. Kalau George tahu kita belum siap jam delapan, pasti ia akan memutuskan tidak akan jadi berangkat." Eliz adalah tipe anak yang tidak bisa siap kalau diberi waktu satu jam. Eliz selalu stres kalau waktunya sudah habis.
            Tak lama kemudian, kamar mereka sudah rapi dan bersih.
            "Waw!" gumam Clara sambil mengusap roknya yang sedikit berdebu. Ia tidak sadar apa yang ia kerjakan bersama kakaknya sampai - sampai kamar mereka serapi itu. Sebelum ini, mereka belum pernah beres - beres kamar. Bibi Marlia, pembantu rumah mereka yang selalu membersihkan kamar kedua anak tersebut. Tapi hari ini Bibi Marlia sedang sakit, dan tak bisa datang ke rumah keluarga Hamburg.
            Setelah membereskan kamar, Eliz dan Clara segera berlari menuruni anak tangga, menuju ruang makan. Ibu, Ayah, George dan Lily sudah duduk di kursi makan mereka masing masing. Di meja makan sudah tersedia piring kosong, di depan setiap kursi-kursi makan. Bibi Flora, juru masak mereka melangkah menuju meja, dan segera menaruh roti isi daging asap, ke setiap piring - piring kosong tersebut. Dari arah tangga, Eliz dan Clara muncul dengan muka penuh ceria.
            "Selamat pagi semua!" seru Clara, anak berusia 7 tahun itu sambil naik ke atas kursinya.
            "Selamat pagi!" balas Ibu, Ayah, George, Lily begitu juga Bibi Flora. Mereka menjawab dengan serempak.
            "Eh, aroma makanannya menggoda! Pasti enak sekali!" celetuk Eliz, yang baru naik ke kursinya. "Ada roti isi daging asap kesukaanku!"
            "Sudah dimakan saja, tidak usah bergumam terus." kata seseorang berambut coklat dengan bando merah yang mencolok. Lily duduk, dan memegang garpu serta pisau dengan anggun. Perlahan memotong roti, dan memasukan kedalam mulutnya. Eliz hanya nyengir sambil menggaruk kepalanya. Keluarga Hamburg mulai bersantap sarapan.
            "Eliz, Clara." kata George yang duduk disamping Lily. "Kalian berdua, harus segera selesai makan pukul tujuh, setelah itu kalian harus segera mengganti baju kalian dan siap untuk berangkat. Kalau kau mau, kau juga boleh mandi." jelas George. Eliz hanya mengangguk karena mulutnya sudah penuh dengan roti. Clara juga menyusul mengangguk. Eliz dan Clara makan sedikit lebih cepat daripada biasanya. Tangan mereka bergerak - gerak, memotong, menusuk roti dengan garpu lalu melahapnya. semenit kemudian suasana sunyi. Hanya ada bunyi dan suara gaduh "TING!" yang berasal dari garpu, pisau roti dan piring.
            Pukul 06.30. Rupanya Eliz dan Clara sudah selesai. Piring mereka sudah kosong, dengan sisa remah-remah roti yang berteteran kemana-mana. Mereka segera mengambil tisyu untuk mengelap tangan dan mulut mereka, kemudian mereka segera berlari mengambil handuk, dan bergantian untuk mandi.
            "Mereka begitu bersemangat." kata ibu yang sedang membereskan piring bekas makan sambil tersenyum.
***
            Eliz, Clara, Lily dan George terlihat berjalan cepat sepanjang trotoar. Mereka sudah tampak rapi dengan pakaian mereka. Tujuan mereka adalah pergi menuju stasiun, menaiki kereta dan pergi ke luar kota. Stasiun itu jaraknya tak jauh dari desa mereka. Mereka hanya tinggal berjalan kaki dan tak perlu naik taksi. Clara terlihat berlari kecil, mengikuti langkah - langkah kaki ketiga saudaranya yang langkah kakinya begitu besar menurutnya. Ia di gandeng Lily, sementara Eliz menggandeng tangn George.
            "Itu dia!" teriak Clara sambil menunjuk sebuah tulisan besar pada sebuah gedung yang bertuliskan "Stasiun kereta api Conswibh". Gedung itu nampak seperti sebuah lorong yang dalamnya luas. Stasiun Conswibh ramai hari ini karena ini adalah hari pertama libur panjang musim panas.
            "Apakah kita akan kebagian tiket kereta kalau ada banyak orang seperti ini?" tanya Eliz sambil memandang semua orang yang ada didalam stasiun. Terlihat seperti lautan manusia yang berkerumunan. Tapi ketiga saudaranya tidak menjawab dan mengacuhkan pertanyaan Eliz tadi. Geroge segera pergi ke antrian loket, dan Eliz melepaskan gandengan tangan, dan berpindah ke tangan Lily.
            "Ayo," ajak Lily sambil menarik kedua adiknya menuju kursi-kursi yang berjejer, tak salah lagi tempat penungguan.  Untungnya sepi, dan mereka dapat duduk santai.
             Clara naik ke kursi. Ia berusaha memanjat dengan tubuhnya yang terlihat kecil, karena kursi-kursi itu sedikit lebih tinggi daripada dirinya. Setalah mencapai atas, Clara duduk dengan nyaman. Ia menggoyang - goyangkan kakinya.
***
            Sudah setengah jam, Lily, Eliz dan Clara menunggu George yang masih mengantri. Antrian loket kereta tujuan mereka, kereta Limberfilt masih mengantri panjang seperti ular. Eliz sudah muak. Lama-kelamaan ia menjadi bosan.
            "Aduuh! Lama sekali!" gerutu Eliz sebal. Tubuhnya merosot dari kursi yang licin itu. "Aku sudah tidak tahan...."
            Tenang saja El­­­­iz," kata Lily yang sedang menengok ke arah loket tiket kereta Limberfilt. "George sudah ada di urutan paling depan. Sekarang ia sedang mengambil tiketnya." Eliz dan Clara terlonjak senang. Akhirnya! pikir Eliz. Ia lalu kembali duduk nyaman. Mukanya berseri-seri seperti biasa. Mereka bertiga nyengir, sambil menunggu George melangkah ke arah mereka. Tapi Lily melihat muka George nampak tidak senang. George juga tidak membawa tiketnya. Muka Lily yang tadinya tersenyum senang, sekarang malah keheranan, lalu ia bertanya pada kakaknya itu.
            "Ada apa George?"
            "Huff....tiketnya habis." jawab George tidak senang. "Orang yang tadi ada didepankulah yang mendapat tiket terakhir. Lalu sekarang bagaimana?" Lily kemudian menengok ke arah loket kembali. Ia melihat beberapa orang yang tadi sedang mengantri. Mereka semua kecewa tiketnya sudah habis.
            "Kita pulang?" tanya Lily, melirik wajah George.
            "Kalau mereka berdua menolak untuk pulang kerumah, kurasa kita bisa naik taksi." kata George sambil menunjuk ke arah Eliz dan Lily yang sedari tadi asyik mengobrol berdua dan tak dengar apa yang sedari tadi George dan Lily bicarakan.
            "Nah, itu dia George!" seru Clara yang baru sadar. Eliz lalu menoleh ke arah George. "Dimana tiketnya George?"
            "Kita tidak dapat Clara. Tiketnya sudah habis." jelas George.
            "Yaaaaaaahh...." Clara dan Eliz begitu kecewa.
            "Kau mau pulang?" tanya Lily pada kedua anak itu. Eliz menggeleng dengan cepat.
            "Tidak! Aku tidak mau!" Eliz melipat tangan seraya memalingkan wajah.
            "Kalau begitu ayo, kita naik taksi saja." George menarik tangan Clara, dan Clara meloncat turun dari kursi yang tadi ia duduki.
            "Ah, jangan baik taksi!" seru Clara tiba - tiba. Ia menahan agar George tidak menariknya. "Kita naik kereta Wilz tua saja!" Clara kemudian menunjuk loket penjualan tiket kereta Wilz tua yang sepi. Kereta Wilz tua adalah kereta yang membosankan. Jalnnya lamban, tua, dan pengap! Tiketnya juga jarang dibeli orang.
            Ketiga saudaranya melongok ke arah Clara.
            "Kau ingin naik kereta tua itu?" tanya George meyakinkan. Clara mengangguk dengan mata berbinar penuh harap.
            "Tempat itu membosankan...pengap....bau kenalpot walau disana tida ada kenalpot....panas tidak ada AC...ditambah dengan orang - orang yang tidak ramah!" jelas Eliz ngeri.
            "Ah, tapi mungkin tidak seberapa," kata Clara agak ragu. "Aku belum pernah merasakan menaiki kereta Wilz tua. Mungkin selera dengan kalian berbeda. Mungkin menurutku, Wilz tua itu sangat menyenangkan!" Clara lalu menarik tangan George, pergi ke loket penjualan tiket kereta Wilz tua. Dalam hatinya, George menggeram marah. Tapi mau buat apa lagi? Kalau ia membujuk adiknya itu, Clara tidak akan mau.
            "Ayo George, ayo!" seru Clara berkali - kali sambil mendorong George ke arah loket. George semakin dekat. George berhenti kemudian. Ujung batang hidungnya hampir mengenai kaca loket.
            "Ya?" tanya penjual tiket sambil mencondongkan kepalanya ke arah George.
            "Tiket untuk satu orang." kata George geram, menatap Clara dengan kesal. Muka Clara merah padam. Ia melipat tangan dan mulutnya manyun. "Apa salahku? Kau bilang kau mau naik kereta itukan?" Kata - kata itu semakin membuat Clara kesal. Gadis kecil itu kemudian mencubit tangan George kencang, sehingga Geroge terlonjak kaget.
            "Baiklah....baiklah..." kata George sebal sambil mengelus - elus tangannya yang sakit. "Maaf, Mr. Tiketnya empat." si petugas loket memberikan empat lembar tiket, mengulurkan tangan ke lubang loket. George memberikan sejumlah uangnya pada si petugas loket. Kemudian George bertanya sesuatu.
            "Mr, permisi. Kapan keretanya akan segera tiba?" Si petugas loket melirik arlojinya.
            "Sebentar lagi juga sampai. Kalian tidak perlu lama - lama untuk menunggu." jelas petugas loket.  Setelah itu, keduanya kembali ke tempat dimana Lily dan Eliz menunggu. George memberikan masing - masing saudaranya tiket, kecuali Clara.

            "Tiketmu, akan aku kantongi. Kalau - kalau nanti hilang, apa kata petugas pemeriksa tiket nanti?" jelas George, mengantongi dua lembar tiket pada kantongnya. "Ayo kita berangkat!" 

Baca Selengkapnya ....